Cinta, Cita, Canda, Harapan, Hikmah, Ajaran, Pendidikan, Pengalaman, Seruan, Peluang, Masalah, Uang,.....dst. Hampir semuanya bisa terekspresikan dalam KATA-KATA.
Jumat, 23 April 2010
Sasmito Bertemu Sang Pertapa
Di tengah kesibukanya sebagai eksekutif muda sebuah perusahaan yang lagi berkembang di Jakarta, Sasmito selalu menyempatkan dirinya mampir sejenak ke lantai 10, untuk melihat Aquarium besar di dalam Kantin “Mawar Jingga”. Entah waktu istirahat makan siang ataupun ketika break ‘Ashar.
Sebuah aquarium besar kira-kira sepanjang 2m dengan tinggi 1m dan lebar nya lebih kurang 1,5m. Dengan seekor ikan Arwana besar yang selalu berenang bolak-balik memamerkan sisik indah dengan tubuh elok yang menggelibat ketika berputar, persis seperti joget sang naga raksasa dalam dongeng.
“Sungguh indah…sebuah mahakarya..” Guman Sasmito dalam hati.
“Tapi,..kasihan juga ya..dikurung di dalam kotak kaca, sendirian. Tanpa teman, maupun musuh, hanya alam dalam kotak kaca -itupun artifisual- dan pegawai maupun pengunjung kantin yang kadang-kadang memperhatikanya, kagum, …tanpa arti…”
Sasmito berkata-kata sendiri kepada dirinya.
“Kayak kamu ya” Kata Sasmito pada dirinya.
“Apanya?” Tanya diri Sasmito.
“Itu, kesepian dalam keramaian. Kehilangan makna hidup. Hidup dalam rutinitas, berangkat kerja, sibuk dengan pekerjaan kantor, comment & ng-update status fesbuk, pulang, beres-beres rumah, kongkow-kongkow sama teman, istirahat, tidur, bangun pagi, berangkat ke kantor lagi, mengerjakan kegiatan yang sama berulang-ulang, dari hari ke hari….” Kata Sasmito.
“Yah, dunia zaman ini memang kayak gini.” Ujar dirinya.
“Kamu yang begitu, kok zaman yang disalahin.” Kata Sasmito menimpali.
“Kalau nggak begini, bagaimana bisa hidup, nyari makan. Apa-apa sekarang pakai uang. Yang buat bayar kost-kost-an, cuci ini, cuci itu, listrik, air, telepon, pulsa, cicilan TV, DVD, Lemari, Motor. Kencing aja di sini musti bayar. Mau sakit aja musti siap duit dulu, buat bayar dokter, obat, de el el. Gimana coba?” Sahut diri Sasmito agak nafsu.
“Ntar dulu, jangan marah dong.” Kata Sasmito.
“Siapa yang marah? Gua cuma njelasin ama loe yang sok jadi filosof” Kata diri Sasmito ketus.
“Gini, aku cuma pengin nanya aja, sebenarnya waktumu yang sehari 24 jam itu kamu buat apa aja sih?” Tanya Sasmito pelan.
“Kok pake nanya segala? Kan tadi udah gua jelasin?” Jawab diri Sasmito.
“Yang mana? Yang sibuk ini-itu tadi?” Tanya Sasmito lagi.
“Terserah apa kata loe ajalah.” Sahut diri Sasmito.
“Iya, lantas kesibukan yang ini-itu tadi, tujuannya apa sih?” Tanya Sasmito.
“Yah, tadi kan udah gua bilang?” Jawab diri Sasmito makin ketus.
“Buat memenuhi kebutuhanmu yang ini-itu tadi?” Tany Sasmito menyelidik.
“Iya.” Jawab diri Sasmito pendek.
“Berarti kamu hidup ini, kamu sibuk kerja ini-itu, agar supaya kamu bisa memenuhi kebutuhan hidupmu? Jadi tujuan kamu hidup ini adalah untuk (bisa) hidup? Kok kedengaranya aneh sih?” Kata Sasmito santai.
Diri Sasmito jadi ikut mendelik memikirkan kata-kata terakhir Sasmito. Aneh juga, tapi kok ya benar. Ada apa dengan hidup ini?
“Benar kan? Kamu sudah kehilangan makna hidup.” Kata Sasmito pelan.
“Hmmm…” Diri Sasmito mengguman nggak jelas, masih sibuk mikir.
“Ya kan? Nasibmu kayak ikan Arwana yang di aquarium itu.” Kata Sasmito.
“Diam ah.” Ujar diri Sasmito.
“Kesepian, kehilangan jati diri.” Lanjut Sasmito.
“Hey, diam dulu…” Sahut diri Sasmito meninggi.
“Kasihan……” Desah Sasmito melanjutkan.
“Diam..!!” Teriak diri Sasmito lantang.
Sekonyong-konyong semua orang di kantin “Mawar Jingga” menoleh ketika mendengar teriakan Sasmito, melihat ke arahnya dengan pandangan yang aneh. Praktis, Sasmito menjadi serba salah tingkah, grogi, kikuk, demam panggung, keringat dingin, berdehem nggak karuan, bingung mesti harus ngapain, mata pendelikan nggak jelas, semua arah seolah silau, kontan Sasmito segera bergegas berjalan menuju pintu keluar. Dalam suasana hening yang sejenak di kantin itu, Sasmito seolah mendengar kencang tertawa renyah penuh sinisme dari wajah-wajah yang memandanginya.
“Emangnya apa urusan kalian?? Kayak nglihat srimulat in action aja. Dasar sok suci!” Umpat Sasmito ketus dalam hati, tanpa suara, seraya menghilang di balik lorong Kantin.
++++++++++++
Malam sudah kian larut. Dini pagi sudah siap-siap hendak memanggil sang fajar. Kokok Ayam jantan dari kejauhan samar-samar mulai terdengar. Sasmito masih belum bisa memejamkan matanya sedari jam 9 malam tadi. Badan sudah capek berbaring, terkapar selama 6 jam di springbed double, yang masih kurang 8 kali cicilan lagi. Masih tetap nggak bisa tidur.
Semalaman sudah Sasmito berdialog dengan dirinya sendiri. Mencoba mencari jawaban dari aneka keruwetan dalam pikiranya dan kegundahan dalam dadanya.
“Hey, ngapain nggak tidur?” Tanya Sasmito pada dirinya.
“Kamu ini sebenarnya siapa sih?” Tanya diri Sasmito setelah diam sejenak.
“Aku juga baru mau menanyakan hal yang sama kepadamu, kamu itu sebenarnya siapa?” Jawab Sasmito.
Semua diam, tanpa suara.
Persis seperti keadaan 7 jam sebelumnya.
Dan sama seperti keadaan 6 hari sebelumnya.
Dan tidak berbeda dengan keadaan 5 minggu sebelumnya.
Dan ……..4 bulan sebelumnya.
Dan ……..3 semester sebelumnya.
Dan ……..2 tahun sebelumnya.
Dan ……..1 dekade sebelumnya.
Dan ……..
Narasi ini ditulis kl 7 tahun yg lalu.
Note: gambar diambil dari; http://xuezhengdao.files.wordpress.com/2009/06/cermin.jpg?w=250&h=346
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar