Jumat, 19 Februari 2010

4 Aspek Pendidikan Anak Yang Bukan Pendidikan Tikus



Kapan tikus belajar untuk “mandiri”? Bergerilya di antara tumpukan sampah-sampah manusia, di rumah-rumah, menyusuri got, selokan, mencari makan untuk kelangsungan hidupnya.
Tikus pun “dididik” untuk mengenal berbagai macam bahaya yang mengancam keselamatan dirinya, musuh-musuhnya yang si Kucing, maupun manusia.
Kapan Tikus belajar “pacaran” atau mengenal lawan jenisnya, memulai proses interaksi dan bereproduksi?
Singkatnya, survival (bertahan hidup) dan bereproduksi, apakah suatu yang diperoleh dengan melalui suatu proses pendidikan ataukah sebuah “insting” alami yang given?



Bagaimana dengan spesies kita, manusia?
Bagaimana “pendidikan” yang dijalani oleh kita?
Apakah serangkaian pendidikan yang ujungnya berkutat pada survival dan bereproduksi saja, yang tak ubahnya seperti makhluk lain, hanya beda bentuknya saja? Atau bagaimana?

Di sini memang bukan berbicara tentang Pendidikan Islam, paradigmanya ataupun filosofinya. Tetapi menyoroti bidang pendidikan (terutama pendidikan anak) dalam konteks yang umum.
Singkatnya, menurut hemat penulis, pendidikan anak (sebenarnya manusia dewasa juga), setidaknya meliputi beberapa aspek, yang antara lain;

(1)Aspek Akademis. Berkutat pada wacana, konsep, kognisi, normatif. Pada aspek ini, kebanyakanya di garap oleh institusi yang kita kenal dengan nama “Sekolah”. Walaupun memang Sekolah tidak saja sebatas menggarap aspek akademis saja, ada skill-skill yang lain yang menjadi bidang garapan sekolah, tapi setidaknya, dominasi aspek ini yang menjadi garapan utama kurikulum pendidikan sekolahan kita.
Aspek ini, memang dipopulerkan sebagai aspek terpenting zaman sekarang. Tapi benarkah Aspek yang terpenting?
Aspek yang penting memang iya. Tapi Aspek yang terpenting? Belum tentu.
Aspek ini jelas tidak menggaransi terhapusnya berbagai tindakan asusila, maksiyat, riba, budaya korupsi, hedonis, narsis, dsb.

(2)Aspek Sosial. Mulai dari mengenal lingkungan, alam, benda-benda mati di sekitar, maupun soft ware seperti serangkaian etika, moral, aturan main, maupun ke level personal, masyarakat. Dan tentu saja tidak sebatas mengenal dalam arti normatif & kognisi saja, tetapi pada tingkat keterlibatan interaktif yang membangun kepedulian serta ketanggapan. Baik pada tingkat kecil eksklusif scope keluarga & keluarga besar, lingkungan rumah, Masjid, TPA, sekolah, dst. Indikator utama yang praktis dari aspek ini adalah hilangnya “ego” individualis dan “sikap manja” si Anak. Dan tumbuhnya kebersamaan atau ada kosakata “kita” dalam nuansa pikiran dan emosi Anak.

(3)Aspek Mental Sikap - Mujahadah, Sabar, Kreatif, Amanah, Qona’ah, Ikhlas, Berani, Disiplin, Tangguh.
Mungkin hal-hal tersebut masih terasa bersifat konseptual dan definitif saja. Tapi dari jabaran sifat/karakter tersebut, setidaknya sudah cukup menggambarkan potret person. Dan aspek ini menjadi salah satu kunci terpenting dalam mengarungi samudra kehidupan. Dan potret pribadi dari aspek ini, bisa dimulai dengan mengumpulkan serangkaian “sifat-sifat baik” ataupun perilaku mulia yang telah dicontohkan para Nabi dan para Sahabat2nya.

(4)Aspek Mental Jiwa - Iman.Aspek ini merupakan "inti penggerak"dari aspek yang lainya. Seperti; kesadaran, ketanggapan, motivasi, cita, harapan, keyakinan, prinsip hidup, dst.


Cara pemikiran yang sederhana, kita bisa menyimpulkan bahwa aspek akademis sudah dihandle oleh Sekolah, lantas bagaimana dengan aspek-aspek yang lainya?
Nah, itulah menurut hemat penulis yang menjadi PR kita, para orangtua. Bagaimana kita membentuk dan membangun sistem keluarga yang kondusif untuk itu, itulah salah satu kunci utamanya.
Bersikap bahwa semua aspek pendidikan anak sudah diserahkan semuanya pada institusi sekolah, ini menurut hemat penulis adalah satu sikap “cuci tangan” yang tidak bisa dipertanggung jawabkan, mengingat anak adalah amanah dari Allah.
Sungguh sama sekali tidak salah bila kita menggagas “kurikulum pendidikan” untuk anak kita pada aspek mental sikap, mental jiwa dan aspek sosial pada anak kita. Bahkan hingga merancang program-programnya sekalian.

Satu catatan penting, bahwa salah satu cara belajar anak yang efektif adalah meniru dari apa-apa yang dilihat dan didengarnya. Maka, menyuguhkan, menampilkan dan melingkupi anak dengan serangkaian praktek dan implementasi dari nilai-nilai tersebut sudah menjadi satu konskwensi yang tidak bisa dielakan.
Benang merahnya, kwalitas diri kita dalam aspek mental-sikap dan aspek yang lainya, serta dalam bentuk besarnya adalah institusi keluarga kita sendiri, untuk senantiasa di up-grade, dilakukan continous improvement, dan itulah satu langkah awal yang penting dalam proses mendidik anak kita.

Semoga menginspirasi & bermanfaat.

Di kali lain, kita akan sharing tentang hal-hal ini yang lebih bersifat praktis dan implementatif. Insya Allah.

Tidak ada komentar: