Anak malas? Susah diatur? Kura ng berprestasi di sekolah? Susah untuk konsentrasi? Sering membuat ulah atau masalah? Hiperaktif, bandel, nakal, inferior, acuh?
Demikian kurang lebih serangkaian permasalahan yang barangkali kerap dihadapi oleh kita, para oran g tua. Apa, siapa yang salah? Bagaimana mengatasinya? Menyekolahkan anak di sekolah favorit, belum tentu menyelesaikan permasalahan ini.
Baiknya kita tidak perlu buru-buru menyimpulkan “ketidakmampuan” si anak, atau guru dan sekolahnya, sebelum membaca tulisan ini (he..he.. promosi nih…).
“Tiap anak adalah ind ividu yang unik” Kenyataan inilah yang musti tertanam kuat pada kesadaran pikiran kita.
Kakak-adik saudara kandung, yang berasal dari rahim yang sama, ayah yang sama, dididik dalam keluarga yang sama, tumbuh dalam lingkungan yang sama pula, sekolahnya pun sama, pun demikian, tetap saja keunikan ind ividu tiap anak tetaplah eksist. Mulai dari sifat, tabiat, karakter, kecenderungan personal pada tiap anak, bahkan sampai pretasinya, juga berbeda-beda.
Maka, berangkat dari kondisi internal personal si anak yang berbeda-beda tersebut (unik), kita akhirnya menyadari bahwa penerapan pola asuh ataupun sistem pendidikan yang seragam (generic), bisa jadi memang kondusif pada type anak tertentu, dan bisa jadi kurang kondusif atau justru malahan kontra produktif pada type anak yang lainnya.
Berhubung hampir semua sekolah formal yang ada menerapkan sistem dan pola pendidikan yang (relatif) sama, maka pada akhirnya, pendidikan non-formal di keluarga-nyalah yang menjadi faktor penentu nan penting.
Berikut 5 tips untuk meningkatkan kwalitas pendidikan anak dari lingkup keluarga.
- Jaga Citra Diri Anak. Ketika para orang tua bertemu, entah ketika dengan sesama teman, saudara, bertamu, atau ketika ngerumpi dengan para tetangga, tidak jarang anak menjadi obyek pembicaraanya. Hendaknya dihindari keluhan atau ungkapan negatif tentang anak, terutama ketika si anak bisa mendengar langsung pembicaraan tersebut. Karena disadari atau tidak, hal demikian membentuk citra negatif pada diri si anak.
Misalnya ungkapan seperti “Kalau si adik mah susah dibilangin, heran deh…”
“Anak saya yang nomor dua itu, susahnya minta ampun kalau disuruh belajar”
“Si Ujang manjanya nggak karuan, sukanya bantingin apa aja kalau lagi ngambek”
Apalagi sampai mengadu, misalnya ke ayahnya (suami) “Coba bayangin pa, si bontot dari siang main PS terus gak mau berhenti, sampai lupa sholat, lupa makan, gak mandi,…”
Termasuk dalam hal ini, membandingkan si anak yang satu dengan yang lainya (atau anak yang lain). Sebaiknya hindari juga.
Tentu saja memantau kekurangan atau kelemahan si anak, membandingkan dengan keadaan anak yang lainnya, memang perlu, sangat perlu bahkan. Tapi hendaknya hal tersebut dibicarakan di forum “prifat atau eksklusif” dimana si anak tidak menden garnya. Itupun konteksnya adalah menganalisa perkembangan si anak, dalam rangka mencari treatmen atau tindakan perbaikan selanjutnya. Bukan dalam rangka ngegosip yang sifatnya hanya menjadi komoditas perbincangan saja.
Ungkapkanlah, hal-hal menonjol yang positif dari si anak, pujian dan kebanggaan, manakala kita berbincang-bincang dengan oran g lain dan ketika si anak bisa mendengarnya. Hal ini akan menumbuhkan citra diri yang positif si anak, confidence dan kenya manan.
Anak dengan citra diri posistif yang kuat, confidence yang kental, nyaman dengan lingkungannya, Insya Allah merupakan modal awal dalam meningkatkan prestasi di bidang-bidang yang lainya.
- Sensistifitas Motivasi. Memberikan atau mengiming-imingi anak dengan suatu hadiah fisik (material), supaya anak melakukan hal-hal yang kita inginkan dalam rangka memotivasi anak, memang perlu, tapi sebaiknya dibatasi, jangan terlalu sering atau terus menerus. Karena hal ini secara tidak langsung, kita mendidik “materilistis” atau pengharapan pamrih/imbal balik. Dan dalam taraf tertentu, hal ini sangat potensial untuk menghilangkan konsep; kesadaran, kewajiban, ketanggapan, keikhlasan, pada jiwa si anak.
Memang, anak mana sih yang nggak suka coklat, kue, mainan baru, tamasya? Maka, motivasi dengan hadiah-hadiah memang dirasakan cukup efektif. Tapi apakah hal ini benar-benar mendidik si anak? Atau hanya suatu stimulus yang sifatnya instant dan temporer? Karena nafsu dasar manusia adalah “ingin lebih”, maka pola perilaku demikian sering menjadi bumerang bagi oran gtua.
Upayakan eksplorasi yang lebih dalam tentang hal-hal non-materi yang menjadi sensitifitas si anak. Biasanya si anak mempunyai suatu hal yang digemari, yang sering dia bicarakan atau ceritakan. Walaupun kadang memang sering gonta-ganti, tapi ladeni dan teruskan eksplorasi saja. Kemudian transfer-lah penjiwaan tadi pada kenya taan di lingkup si anak.
Misalnya, si anak sangat gemar sekali dengan film/komik Naruto. Mungkin memang perlu memberikan mainan atribut Naruto, tapi manfaatkan momentum mendidik anak, dengan “penjiwaan” Naruto yang ditransfer pada lingkup realita si anak.
Misalnya menggiring si anak “Naruto itu keren banget ya? Yang keren dari Naruto itu apanya sih…?”
Misalnya sifat-sifat baiknya yang rela berkorban untuk orang2 yang disayang, tidak cengeng, berusaha dengan sungguh-sungguh.
Kemudian diajak untuk membangun motivasi “Kalau adik, sudah keren kayak Naruto apa belum ya?”
Dan diarahkan doktrin yang mengarah pada implementasi praktisnya
“Adik ikut kursus Karate aja, biar keren.”
“Adik kan nggak cengeng, bearti sudah keren dong”
“Biar keren, adik mau kan berkorban untuk orang yang adik sayangi? Adik Sayang Mama kan? Kalo adik mau berkorban demi Mama, baiknya adik melakukan apa ya?”
dst.
Dan hal serupa bisa dilakukan dengan tema yang beraneka ragam tergantung pada sensitifitas yang sedang dilanda si anak.
Memang tidaklah mudah dalam mengolah dan menggiringnya, dan hasilnyapun tidak bisa langsung terjadi, dan biasanya butuh waktu serta pengulangan berkali-kali hingga bisa terlihat dampak praktisnya maupun tumbuh penjiwaannya.
- Subyektifitas Tema. Bagi anak yang agak tertinggal pelajaran di sekolahnya, terkadang pemicu permasalahannya adalah tentang “kemasan penyampaian” yang kurang menarik bagi anak saja.
Misalnya, si anak agak lemah pada pelajaran matematika. Bisa diupayakan membantu memahami dengan menggunakan tema-tema yang disukai si anak. Katakanlah si anak sangat gandrung dengan Superman, bisa dicoba sebagai tema sentralnya, misalnya;
Wah Superman harus menyelamatkan planet Jupiter yang terkena radiasi Gumma, caranya Superman harus terbang dengan kecepatan tinggi mengelilingi planet Jupiter. Lintasan terbang Superman berbentuk …..LINGKARAN!
Atau dipakai dengan yang lain, misalnya kalau mencegah serangan radiasi Gruyuk, harus terbang dengan lintasan…. SEGITIGA.
Dst.
Superman berhasil menangkap gerombolan penjahat, dan mau dibawa terbang ke penjara Nusakambangan. Supaya Penjahatnya tidak mati ketika dibawa terbang dengan kecepatan super, harus dimasukin ke kantong bioplasma. Satu kantung hanya muat 2 penjahat. Padahal penjahatnya ada 6, berarti Superman butuh berapa kantung bioplasma..?
Dst.
Hal ini bisa dicoba diterapkan pada pelajaran ataupun hal yang lainya. Memang dibutuhkan kreatifitas oran gtua untuk itu.
- Pujian dan “Acuh”. Dalam sistem professional, kita mengenal sistem reward and punishment dalam rangka mensolidkan suatu tatanan budaya atau sistem nilai tertentu. Hal yang mirip, bisa diterapkan dalam mendidik anak kita.
Pujilah si anak, ketika ada hal-hal positif yang dia lakukan atau dia capai. Ekspresikan perhatian, dan kasih sayang misalnya dengan pelukan atau ciuman.
Misal si anak mengaku “Ma, kemarin adik ngambil uang dari dompet mama seribu, habis adik pingin jajan sih”
Sebaiknya jangan merespon dengan marah, ngomel2 bahwa ambil barang milik orang harus bilang dulu, dst. Hargai kejujuran dan keterbukaan si anak. Pujilah ketrusteranganya dan keterbukaanya, karena hal ini adalah lebih utama. Karena dengan terbangunya keterbukaan dan keterusterangan, aneka masalah-masalah bisa dipantau secara optimal.
Kalau toh ingin “mengingatkan” si anak tentang ngambil barang oran g harus minta ijin, dst, baiknya lakukan di lain waktu, pada suasana yang lebih fresh.
Kalau misalnya si anak ngambek dan kita marah, ngomel, dst, seolah si anak secara verbal berkata “Tuh kan , kalau saya begini, baru kamu memperhatikan saya… Tuh kan , kamu juga bingung dan kerepotan kalau saya begini…”
Dan tentu saja hal ini tidak berlaku ketika si anak menangis karena menderita kesakitan atau kelaparan, tentu harus kita perhatikan betul-betul.
- Tunjukan Contoh konkrit. Konsistenkan dan solidkan antara seruan normatif, perintah verbal dan pengkondisian konkritnya. Misalnya menyuruh belajar, mungkin lebih baiknya dibangun suasana “mengajak” anak belajar, dan kita sendiri juga ikut terlibat, atau minimal kita mencontohkannya, misal kita juga membaca buku, atau apa.
Hindari perilaku ketika kita menyuruh si anak belajar sementara orangtuanya malah nonton sintron, atau internetan.
Hindari menyuruh anak sholat & ngaji misalnya, sementara orang tua justru tidak melakukanya.
Orangtua melarang berbohong, sementara ketika si anak ngangkat telepon, Bapaknya bilang “Kalau Om Jono yang nyari, bilang aja Bapak lagi keluar.”
Hal demikian ini jelas membangun ajaran “omong kosong” pada si anak.
Dan secara alam bawah sadar, hal-hal yang kontradiktif tersebut akan merapuhkan prinsip nilai yang dipegang si anak yg bisa jadi terakumulusi di kemudian hari.
Demikianlah sharing dari saya. Tentu saja tidak bisa langsung diterapkan begitu saja pada anak-anak anda. Setidaknya harapan penulis, gagasan atau wacana ini, bisa menginspirasi anda, dan anda sendirilah yang berkreasi dengan praktik-praktik yang paling sesuai dengan kondisi anda masing-masing.
1 komentar:
Jangan lama2 dong sambungan artikelnya Pak. Nungguin nih. he he he... maksa.com lg up date..!!
Salam pendidikan
O,ya ks plhan URL dong Pak d Select Profile na.
Posting Komentar